
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso. Foto: Kemenko.
JAKARTA, ukmdanbursa.com – Amerika Serikat akhirnya menurunkan tarif impor resiprokal atas produk Indonesia dari 32% ke 19%, yang antara lain dengan kesepakatan Indonesia membeli 50 pesawat Boeing. Bersamaan itu, maskapai baru PT Indonesia Airlines Holding hingga kini belum kunjung dapat melakukan kegiatan penerbangan, lantaran dinyatakan belum memenuhi seluruh persyaratan perizinan yang diwajibkan regulasi.
“Indonesia Airlines belum dapat melaksanakan kegiatan penerbangan karena belum memenuhi seluruh persyaratan perizinan yang diwajibkan oleh regulasi. Sertifikat Standar yang telah dimiliki perusahaan belum berstatus terverifikasi dalam sistem Online Single Submission (OSS) maupun Sistem Informasi Perizinan Terpadu Angkutan Udara (SIPTAU). Dengan demikian, sertifikat tersebut belum sah secara hukum, dan tidak dapat dijadikan dasar operasional penerbangan,” kata Direktur Jenderal Perhubungan Udara Lukman F Laisa dalam keterangan di Jakarta, Kamis (24/7/2025).
Pada kesemparan terpisah, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menjelaskan, pemerintah Indonesia berhasil mencapai kesepakatan dalam menegosiasikan kebijakan tarif impor resiprokal Amerika Serikat untuk produk asal Indonesia yang kini di 19%, dibanding sebelumnya 32%. Berkaitan dengan hal itu, pemerintah terus berupaya memberikan penjelasan dan pemahaman umum kepada masyarakat agar dapat melihat konteks kebijakan tarif AS secara lebih utuh.
Sementara itu, Garuda Indonesia mengaku butuh 120 pesawat yang akan dipenuhi dalam jangka panjang. Sekretaris Perusahaan Garuda Indonesia Cahyadi Indrananto mengatakan sebelumnya, pengadaan pesawat tersebut salah satunya bakal dibeli dari produsen pesawat AS Boeing. Ini sejalan dengan kesepakatan pembelian 50 pesawat dari Negeri Paman Sam, seiring Presiden AS Donald Trump memangkas tarif impor resiprokal 32% ke 19% bagi produk RI.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pernah menjelaskan soal rencana PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) membeli 50 pesawat dari Boeing, yang merupakan pesaing utama produsen pesawat Eropa Airbus. Ia mengatakan rencana tersebut merupakan kesepakatan lama antara kedua perusahaan.
Ia menuturkan terkait dengan rencana pembelian pesawat Boeing, sudah ada kontrak lama Garuda untuk membeli 50 unit, namun baru di-delivered satu. Kesepakatan membeli pesawat itu sempat terkendala, lantaran Indonesian flag carrier ini mengalami masalah korporasi, yang membuat perusahaan berada dalam status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Namun, dengan kini masuk Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) yang memberikan dukungan pendanaan pada Garuda, maskapai pelat merah itu dapat melakukan rekapitalisasi sebagai bagian dari proses restrukturisasi. Dengan korporasi selesai PKPU, kemudian Danantara sudah dibentuk, akan ada rekapitalisasi PKPU dan kontrak pembelian 50 pesawat dinegosiasikan ulang.
Berita terkait:
Kesepakatan Kemitraan Ekonomi dengan Eropa Dorong Ekspor Melonjak 50%, Siapa Diuntungkan?
Persyaratan Apa Belum Dipenuhi?
Lukman mengatakan, salah satu persyaratan penting yang belum dipenuhi Indonesia Airlines adalah penyampaian Rencana Usaha yang memuat rencana penguasaan armada, wilayah operasi, struktur organisasi, kemampuan keuangan, serta rencana layanan dalam lima tahun ke depan. Tanpa pemenuhan dokumen ini, proses verifikasi tidak dapat dilanjutkan dan tidak ada izin operasional yang bisa diterbitkan.
Dirjen Perhubungan Udara Lukman kembali menegaskan, setiap maskapai wajib mengikuti seluruh tahapan perizinan secara tertib dan lengkap sebelum dapat dinyatakan sah untuk beroperasi. “Kami tegaskan lagi, status ‘belum terverifikasi’ berarti proses belum selesai. Tanpa kelengkapan dokumen, izin tidak akan diberikan, dan kegiatan penerbangan tidak boleh dilakukan,” ujarnya.

Hingga saat ini, tandas dia, tidak terdapat satu pun dokumen perizinan yang menyatakan bahwa Indonesia Airlines telah memiliki hak untuk menyelenggarakan layanan angkutan udara. Proses penerbitan Air Operator Certificate (AOC) bahkan belum dapat diajukan karena tahapan awal pun belum selesai.
“Pendirian maskapai bukan sekadar administratif, tetapi menyangkut aspek keselamatan dan kepatuhan operasional. Maka semua prosesnya harus dilalui dengan benar, dan publik perlu mendapatkan informasi yang akurat,” imbuh Lukman.
Berita pilihan:
BI Ada Ruang Turunkan BI Rate, untuk Menggairahkan Sektor Riil dan Pasar Modal
Menurut dia, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara tetap membuka ruang seluas-luasnya bagi badan usaha yang ingin membentuk maskapai baru. Namun demikian, setiap proses harus dijalankan secara transparan, akuntabel, dan sesuai dengan regulasi yang berlaku.